Saya Disini Cari Makan, Bukan Numpang Makan

Saya Disini Cari Makan, Bukan Numpang Makan
(Muktia Farid)

Itu kalimat yang pernah saya dengar dari teman di suatu kantor. Saat dia ditanya kenapa rajin amat mengerjakan sesuatu, sedang teman yang lain ada yang santai-santai saja. Bagi saya sendiri, kisah tentang seorang pekerja yang mengadukan nasibnya pada Imam Syafii, sangat menjadi pengingat untuk tidak berleha-leha saat bekerja. Meski dalam kamus ASN itu ada istilah (maaf) PGPS, tapi saya yakin yang namanya keberkahan itu gak akan tertukar.

Jadi, bekerja itu sebetulnya adalah upaya menolong diri sendiri (dan keluarga), supaya keberkahan layak untuk terus menaungi, tak menjauhi. Jadi bekerja bukan untuk cari money. Meski mungkin secara kasar kadang kita dapati, “Lah aku dah capek2 kok cuma dapet segini? Dia yang santai2 aja malah dapatnya lebih dari aku?”

Percayalah, itu cuma urusan nominal. Sedang keberkahan hal yang lain lagi, sama sekali tak berbanding lurus dengan nominal di tangan. Dia pasti akan menemukan alamat yang tepat, saat kita bekerja dengan giat.

Berikut kisah pegawai yang mengadu tersebut, yang saya cuplik dari blognya kang salim afillah.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Seorang lelaki mengadu kepada Imam Asy Syafi’i. “Ya Imam”, ujarnya sendu, “Gajiku 5 dirham sehari. Itu cukup besar bukan? Tapi rasanya hidup kami sempit sekali. Uang selalu kurang. Keperluannya ada-ada saja. Istriku tak henti mengeluh & marah-marah. Anak-anakku susah diatur, sukar dimintai tolong, membantah jika dinasehati. Berikan bimbinganmu ya Imam!”

“Bagaimana jika kau kurangi saja bayaranmu jadi 4 dirham?”
“Itukah petunjukmu ya Imam? Lima dirham terasa sesak, & kauminta aku hanya mengambil 4 saja?”
“Ya”, ujar Sang Imam sambil tersenyum.

Mungkin karena dia menyadari bahwa kata-kata Sang Nashirus Sunnah bukan sembarang petuah, dia ikuti juga betapapun tak masuk akalnya. Beberapa waktu kemudian dia menghadap Sang Imam dengan wajah yang tak lagi tertekuk & gurat kesusahan tampak berkurang.

“Sudah kulaksanakan nasehatmu. Kini gajiku 4 dirham & rasanya sungguh pas-pasan. Benar-benar ketat antara pemasukan & pengeluaran. Istriku tinggal gerutuannya yang sesekali. Anak-anak sudah mulai menurut meski kadang berdebat dulu. Adakah petunjuk lagi ya Imam?”
“Tentu. Kurangi lagi jadi 3 dirham.”

Seperti sebelumnya, lelaki itu patuh meski petuah sang mahaguru terasa lucu. Beberapa waktu berselang dia kembali menghadap dengan wajah berseri-seri. “Alhamdulillah ya Imam. Sejak gajiku hanya 3 dirham, justru rasanya kami amat berlimpah. Semua keperluan terpenuhi. Bahkan kami bisa bershadaqah. Istriku juga jadi begitu ramah dan penuh perhatian. Anak-anakku taat & menyejukkan mata. Apa rahasia semua ini? Mengapa 5 dirham kurang, sedang 3 berlimpah?”

Sang ‘Alim Quraisyi menjawab dengan sebuah syair:
“Dia kumpulkan yang haram pada yang halal untuk memperbanyak. Padahal jika yang haram merasuki yang halal maka ia akan merusak.”

Kisah ini bukan anjuran -apalagi bagi para majikan- tuk mengurangi gaji -bawahannya-. Tapi ia adalah renungan agar kita pastikan bahwa bayaran kita telah sesuai ‘itqan & ihsannya kerja, halal & thayyib dalam ridhaNya.

http://salimafillah.com/bayaran-2/

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *